Senin, 11 Februari 2013

Tiga Visi Dakwah Rasulullah


Dapat artikel ini dari majalah sabili edisi jaman baheula, dari rubik Takwin oleh M. Nurkholis Ridwan.
No.24 TH. IX 30 MEI 2002/17 RABIUL AWAL 1423

Tiga Visi Dakwah Rasulullah

Dakwah, tak diragukan lagi, telah memainkan peran penting bagi tegaknya pilar-pilar masyarakat dan peradaban islam. Dakwahlah yang membuat pesan utama islam sebagai rahmat bagi alam semesta dapat terejawantah secara nyata. Sebuah fakta menarik menyebutkan, cuma sedikit sahabat Rasulullah saw yang wafat di Makkah dan Madinah, karena menyebar ke berbagai penjuru dunia demi menyebarkan islam.
Sebagai sebuah misi yang membawa pesan perubahan, dakwah islamiyah mempunyai visi dan pilar yang dipetik dari sirah Rasulullah saw sebagai juru dakwah islam pertama. Mulai dari metode, isi hingga berbagai penyikapan beliau terhadap masalah-masalah yang dihadapi ummat islam menjadi acuan bagi para juru dakwah selanjutnya. Tentu saja, akan begitu banyak varian dalam realitas kehidupan kontemporer, sebagai sebuah konsekuensi logis dari kehidupan yang tumbuh dinamis. Sebab dakwah ada bersama kehidupan itu sendiri, dengan tujuan melahirkan generasi dan masyarakat muslim sejati.
Saat Rasulullah saw memulai dakwahnya di Makkah, pesan pertama yang beliau sampaikan adalah tauhid. Tauhid adalah inti ajaran para rasul, yang merupakan demarkasi antara iman dan kufur (QS an-Nahl :36). Setelah seseorang meyakini dan bersaksi akan keesaan Allah dan Muhammad saw sebagai utusannya, barulah babak baru dimulai. Ia harus patuh dan tunduk pada segala aturan islam.
Tauhidullah menurut tiga hal dari diri setiap muslim; pertama, menyerahkan semua ibadah dan perbuatannya hanya kepada Allah (Tauhid Uluhiyyah) kedua, meyakini keesaan Allah terhadap hak-hak ketuhanan, seperti menciptakan, memberi rezeki, maha memiliki, dsb (Tauhid Rububiyah). Ketiga, meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT seperti yang diterangkan dalam al-Quran dan as-Sunnah (Tauhid Asma’ wa ash-Shifaat), apa adanya tanpa interpretasi. Sebab, hanya Allah yang mengerti hakikat sifat-sifat-Nya “Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” (QS asy-Syuura: 11).
Tauhid diletakkan sebagai pesan pertama, sebab dari sanalah pondasi aqidah dan syariah dalam diri seorang muslim dibangun. Kerancuan aqidah, ibarat virus yang membuat bangunan keislaman seseorang runtuh. Tak heran jika seseorang yang dengan sadar melakukan syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya,” (QS an-Nisa’:49).
Contoh lebih jelas lagi adalah ketika seseorang memahami takdir secara fatalis (jabariyah), dimana manusia tidak mempunyai kehendak apapun dan hanya mengikuti kehendak Allah SWT. Manusia, dalam perspektif jabariyah, hanya ibarat wayang yang dipermainkan kesana kemari oleh sang dalang. Akibatnya, penganut paham seperti ini tak peduli apakah yang ia lakukan itu adalah ketaatan atau kemaksiatan . Sebab menurut keyakinannya, ia hanya mengikuti kemauan Allah SWT. Tentu jika ini terjadi, dapat dibayangkan akibat negatifnya di tengah-tengah masyarakat.
Berbagai fenomena syirik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat seharusnya jadi perhatian para da’i, sebelum melangkah ke tema-tema dakwah lainnya. Keyakinan tertentu terhadap ‘benda keramat’, berdoa kepada orang yang telah meninggal, banyaknya paranormal yang merupakan pengikut syaithan, dan lain-lain adalah fenomena yang begitu sering kita temui di masyarakat.
Setelah tauhid, pesan dakwah selanjutnya adalah ittiba’ (mengikuti Rasulullah saw). Para ma’du (yang didakwahi) harus diyakinkan bahwa dalam beribadah bukan Cuma keikhlasan dan niat baik yang dibutuhkan, tapi juga kesesuaian dengan apa yang diontohkan oleh Rasul saw. Dalam hal ini, kedudukan al-Quran dan as-Sunnah sama dalam penetapan suatu hukum, baik itu berkenaan dengan ibadah (perbuatan) maupun keyakinan. Sebab hakikat sunnah adalah wahyu yang diturunkan kepada beliau. Sabda beliau, “ketahuilah bahwa aku diberikan al-Quran dan yang serupa dengannya (as-Sunnah),” (HR Abu Dawud).
Di samping tauhid, keutuhan (syumuliyah) pemahaman islam juga harus menjadi prioritas, karena islam tak sekedar ibadah ritual belaka. Tak ada perbedaan antara tuntunan Rasulullah saw tentang shalat dengan ajaran beliau tentang masalah jual-beli, pernikahan, politik, hukum positif. Beliau juga harus dipatuhi di atas seluruh makhluk, apapun kedudukannya, bahkan di atas orang tua sekalipun. Hal ini tentu saja tidak akan terwujud, kecuali jika kita mencintai beliau melebihi kecintaan kita terhadap seluruh makhluk Allah. Sabda beliau, “Tidak sempurna keimanan kamu hingga ia mencintaiku melebihi kecintaannya terhadap dirinya, orangtuanya, anaknya, dan terhadap seluruh manusia,” (HR Bukhari dan Muslim). Kenyataan inilah yang hilang di tengah-tengah masyarakat muslim. Begitu banyak sunnah ditinggalkan, bid’ah digalakan, dan pikiran lalu memainkan peran penting dalam memahami syariat islam.
Pesan selanjutnya adalah tazkiyah an-Nafs (pembersihan hati) . Ini di dasarkan pada firman Allah,       
“ Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengaharamkan kepada mereka Kitab dan Hikmah,” 
(QS Al-Jumu’ah: 2). 
Tazkiyah an-Nafs, seperti kata syekh Abdurrahman Abdul Khaliq, merupakan proses penyucian dan pengobatan hati dari segala kotoran dan cela. Hati yang bersih adalah hati yang jauh dari berbagai penyakit hati semisal dengki, dusta, khianat yang dicela oleh agama dan akal sehat.
Proses tazkiyah ini berlangsung dengan dilaksanakannya syariah islam secara lengkap dan menyeluruh, mulai aqidah, ibadah, hingga muamalah. Tak ada amalan khusus atau wirid-wirid tertentu, seperti yang diyakini oleh kalangan sufi. Shalat misalnya, merupakan unsur penting dalam proses tazkiyah, yang berfungsi mencegah dari perbuatan keji dan munkar (QS al-Ankabut : 45). Tak heran jika wanita yang rajin puasa di siang hari dan mengerjakan shalat di malam hari, tapi suka mencela tetangganya, oleh nabi saw digolongkan penduduk neraka (HR Bukhari, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Ahmad). Hikmahnya jelas, jika shalat dan puasanya betul maka ia akan dicegah dari perbuatan mengganggu tetangga.
Ibadah baik berkenaan dengan harta atau fisik adalah unsur utama dalam proses tazkiyah. Ia mengikat hati dengan Sang Pencipta sehingga terwujudlah ketakwaan di dalam hati. Siapa yang bertakwa dan takut pada Tuhan-Nya akan terjauh dari yang diharamkan. Kemaksiatanlah yang mengotori hati, dan ketaatanlah yang dapat membersihkannya. “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan buruk,” (QS Hud: 114)


Maha Benar Allah, semoga Allah swt menggerakkan hati kita untuk selalu berdakwah..
Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua..  amiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar